Selasa, 01 Juni 2010

IMPLIKASI PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN RAWA GAMBUT

IMPLIKASI PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN TERHADAP DEGRADASI HUTAN RAWA GAMBUT

Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat besar peranannya bagi kepentingan hidup manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan pola pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan Kesepakatan , tercatat bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615 ha, yang terdiri dari hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan lindung seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha, hutan produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha (Dephut, 2004).
Berfokus pada pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya eksploitasi hutan melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang berpotensi tinggi pada lapangan bertopografi relatif ringan yang secara ekologis tidak mudah terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan akan hasil hutan terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah mencapai tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal dengan katagori hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia terhadap keseimbangan ekosistem sumber daya hutan. Gangguan berupa eksploitasi hutan adalah gangguan yang cukup drastis terhadap keseimbangan ekosistem hutan terutama di tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan Bertault, 1998; Shariff dan Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan hutan yang optimal juga penting untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil hutan yang makin besar. Dengan demikian, gangguan kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber daya hutan masih dapat diperkenankan, asalkan terbatas pada intensitas dimana batas daya dukung sumber daya hutan belum terlampaui. Batas-batas tersebut berupa batas toleransi perubahan faktor-faktor lingkungan hutan yang masih mencerminkan keseimbangan dinamis dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa gangguan pada salah satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula pada unsur lainnya karena adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur ekosistem tersebut.
Gangguan terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa, berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut, 1998). Sistem silvikultur pada hakekatnya merupakan program perlakuan untuk seluruh rotasi. Batasan ini membantu menjamin beberapa keseragaman dan kontinuitas jangka panjang dari perlakuan yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut, perhatian harus difokuskan pada langkah genting (crucial step) dari regenerasi tegakan, oleh adanya pengertian yang keliru bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan metode penebangan regenerasi hutan, yang dapat menyebabkan tegakan menjadi hilang karenanya (Soerianegara dan Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan Bertault, 1998).
Perkembangan sistem silvikultur di Indonesia masih terus berlangsung setelah Direktorat Jenderal Kehutanan berubah statusnya menjadi Departemen Kehutanan pada tahun 1983. Dalam rangka penyempurnaan sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan produksi alam di Indonesia, sesuai dengan buku Rencana Pengembangan Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/1990 – 1993/1994, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang sistem silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Alam di Indonesia. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan antara lain bahwa pengelolaan hutan produksi alam dapat dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan alami Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan Permudaan alami Buatan (THPB) (Dephut, 1998). Pelaksanaan sistim silvikultur TPTI di hutan rawa gambut didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989.
Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada harus diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan. Hutan rawa gambut seperti halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus hutan produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI yang selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering. Mengingat kondisi ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna, 1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998).
Pada waktu disusunnya sistim silvikultur TPTI (semula TPI) didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi, struktur dan pertumbuhan hutan tanah kering dengan dasar riap jenis-jenis Dipterocarpaceae. Jadi penerapan sistim silvikultur TPTI untuk tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut dan tipe hutan lain masih memerlukan penelitian sinekologi (komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis, permudaan alami, tumbuh dan riap, serta fenologi) dan autoekologi (syarat-syarat keadaan tempat tumbuh, siklus hara mineral, dan siklus air). Hubungan kesuburan tanah dan iklim dengan produktivitas hutan rawa gambut belum banyak terdokumentasi (Sutisna, 1985; Nguyen, 1998; Elias et al., 1997; Sist dan Bertault, 1998).
Penebangan hutan alam dengan sistem silvikultur TPTI jelas akan menurunkan kelimpahan dan keragaman jenis dalam hutan alam sampai dalam bentuk perubahan struktur, bentuk komunitas flora-fauna dan berakhir pada gangguan terhadap ekosistem (Soenarno, 1996). Pada hutan alam, penebangan dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang berdiameter  50 cm akan berpengaruh pada struktur tegakan dan komposisi yang meliputi keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas, kerapatan, frekuensi dan dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang akan mempengaruhi struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin banyak jumlah jenis pohon yang hilang berarti tidak menguntungkan pada kelestarian jumlah jenis tumbuhan di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan, 2000; Siregar et al., 2000).
Ada kecendrungan yang sangat merugikan dalam pelaksanaan sistem silvikultur TPTI yang tidak terkontrol yaitu pada pelaksanaan permudaan alam dan buatan yang hanya mementingkan pada jenis-jenis komersil, usaha permudaan alam dan buatan yang didasarkan hanya pada jenis komersil yang ditebang dan ini umumnya berlaku pada sistem silvikultur TPTI, akan dapat makin merubah komposisi jenis dihutan alam bekas tebangan (Soenarno, 1996). Apabila sistem silvikultur TPTI dan pengembangannya selalu mengutamakan permudaan buatan dan alam jenis komersil saja tanpa memperhatikan jenis non komersil yang hancur dan rusak sewaktu penebangan dan penyaradan kayu melalui jalan sarad dilakukan, maka areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bekas TPTI nantinya akan cendrung mengarah ke hutan dengan tegakan yang hanya terdiri dari beberapa jenis komersil saja, maka fungsi HPH dalam melestarikan keanekaragaman hayati tidak dapat diharapkan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Di sisi lain, pedoman TPTI tidak memuat standar baku yang menerangkan tingkat ukuran dan toleransi dari suatu dampak. Misalnya dampak terhadap tegakan tinggal, iklim mikro maupun sifat tanah. Padahal, informasi ini penting untuk mendapatkan ketegasan bagi pengelolaan hutan bekas tebangan ini lebih lanjut agar potensialnya minimal sama dengan sebelumnya.
Pembukaan wilayah hutan dalam kegiatan hutan alam adalah semua aktifitas/ kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan hutan dan transportasi hasil hutan keluar dari areal hutan yang harus disertai pula usaha-usaha untuk mengurangi atau menghindari kerusakan (Elias, 1994).
Transportasi pengakutan kayu tebangan (logging transportation) pada pembukaan wilayah hutan di areal hutan rawa yang mempunyai topografi kurang dari 3 % yang digunakan adalah dengan sarana jalan rel kereta lokomotif. Pembuatan jalan rel dilakukan karena jika mempergunakan jalan darat (jalan tanah) tidak akan bisa dilalui kendaraan, hal ini disebabkan terlalu banyak air (becek/banjir) akibat dari sifat tanah gambut yang lunak dan berair (Endom dan Basri, 2001).
Pembuatan jalan dengan menggunakan jalan rel dan jalan sarad ongkak dengan sistim kuda-kuda (logging extraction manual system) membawa konsekuensi berupa penggunaan kayu untuk bantalan rel dan bantalan kuda-kuda ongkak, dan umumnya kayu-kayu yang digunakan adalah kayu-kayu dari pohon berdiameter kecil dan jenis-jenis kayu non komersial. Pembuatan jalan ini juga berakibat terbentuknya koridor di hutan yang cukup lebar yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro hutan.
Perubahan iklim dalam areal HPH berbentuk iklim mikro. Faktor-faktor iklim yang dapat berubah adalah suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).
Perubahan iklim mikro ini akan cukup besar terjadi pada areal hutan yang terbuka untuk pengakutan kayu melalui jalan rel, jalan sarad, tempat penumpukan kayu (log pond), dan lokasi pemukiman (base camp). Areal ini akan mengalami perubahan iklim mikro secara terus menerus selama masih digunakan. Perubahan iklim mikro yang kalau dilihat dari angka perubahan atau persentase perubahan mungkin terlihat kecil tetapi pengaruh pada kehidupan tumbuhan dapat sangat besar, terutama beberapa jenis tumbuhan yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim mikro, perubahan struktur tegakan dan komposisi jenis ini akan mempengaruhi keadaan habitat yang berkecendrungan terjadinya perubahan perubahan ekologissnya (Koesmawadi, 1996; Indrawan, 2000; Dalfelt, et al., 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar