Selasa, 01 Juni 2010

PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT
PROPINSI RIAU

Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Petunjuk teknis TPTI merupakan acuan kegiatan pemanenan kayu di hutan alam Indonesia. Di dalamnya berisi tahapan dan kegiatan perencanaan pemanenan yang cukup rinci dan bersifat konservatif. Oleh karena itu, sistem ini dipandang paling aman untuk mempertahankan pengelolaan kelestarian hutan (Dephutbun, 1998).
Kegiatan pembalakan selain prosesnya berlangsung tidak mudah, syarat biaya serta beresiko tinggi, juga di sisi lain harus bisa mengntisipasi agar kerusakan tegakan tinggal dan lingkungan minimal. Hal ini muncul tidak lain karena pohon yang ditebang hidup di tengah tegakan yang beragam jenis, ukuran, kerapatan maupun komposisinya. Besar kecilnya kerusakan tergantung pada bentuk dan lebar tajuk, tinggi dan kerapatan tegakan serta keterampilan penebang. Menurut Dawkin (1980) dalam Wiradinata dan Saddan (1980), dalam sekali penebangan pohon berdiameter besar di hutan tropika basah, bisa mengakibatkan kerusakan pada tegakan di sekitarnya paling sedikit seluas 0,02 ha. Kerusakan tersebut terjadi karena adanya pohon yang ikut tumbang, sehingga memperbesar tingkat kerusakan.
Wiradinata dan Saddan (1980) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal juga diakibatkan oleh kegiatan pembuatan jaringan jalan dan tempat pengumpulan kayu (TPn). Semakin tidak terencana kedua kegiatan tersebut, maka kemungkinan terjadinya kerusakan tegakan tinggal akan semakin besar. Untuk itu proses pembalakan ramah lingkungan sangat diperlukan.
Ewel dan Conde (1978) menyebutkan bahwa kerusakan pada tanah, vegetasi, sumber air dan kehidupan liar adalah pengaruh nyata sebagai akibat dilakukannya kegiatan eksploitasi hutan tropika basah. Pengaruh yang dianggap penting itu, negatip ataupun positip merupakan sesuatu ukuran ambang batas kepedulian (Threshold of Concern, TOC) yang lingkupnya mencakup bidang, ruang dan waktu (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997). Sheffield (1996) mengatakan bahwa penetapan standar yang baku untuk menganalisis data suatu kegiatan inventarisasi kerusakan hutan, hingga saat ini belum ada. Oleh karena

itu, pengguna hendaknya mengatur kembali metode yang diambil dalam penetapan ambang batas pengaruh sesuai tujuan dan spesifikasi yang diinginkan (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997).
Untuk pembuatan parameter ambang batas pengaruh, perlu dipahami kemampuan daya pulih ekosistem atas pengaruh itu (Malcom dan Markham, 1996). Pada ekosistem yang berdaya pulih, kondisi awal sangat berpengaruh dalam merespon kerusakan yang terjadi. Konsepsi kelenturan ekosistem (ecosystem recosilience) ini terbagi atas 2 bagian yaitu kelenturan mekanis (engineering recosilience) dan kelenturan ekologi (ecological recosilience) (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996).
Kelenturan mekanis ialah ketahanan pulih terhadap gangguan dan kecepatannya untuk kembali mencapai keadaan yang seimbang. Sedangkan kelenturan ekologi ialah pemulihan kondisi yang relatif jauh dari keadaan seimbang. Pada kejadian ini situasi awal dapat berubah ke kondisi yang lain karena pengaruh keseimbangan baru yang lebih dominan (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996).
Untuk melihat kepulihan ekosistem. Lawton dan Jones dalam Malcom dan Markhum (1996) mengatakan bahwa peranan pohon pada struktur lingkungan hutan terjadi melalui modifikasi proses hidrologi, siklus hara, kestabilan tanah, kelembaban, suhu, angin dan cahaya. Dalam hal ini, yang lebih penting dalam konservasi keragaman hayati ialah melindungi dan memelihara potensi ekosistem yang produktif.
Di pihak lain, untuk penetapan ambang batas perlu diketahui proporsi bentuk dan ukuran dari kerusakan, Misal, akibat pembalakan terhadap struktur tegakan, peranan dan evolusi dari ekosistem. Karena gangguan biasanya cendrung bersifat ekstrim dan berdampak panjang, maka konsep ambang batas menjadi sulit didefenisikan secara tepat (Sousa, 1984 dalam Gardner et al., 1996).
Menurut Hamilton et al., (1996) tahap dan aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai kerusakan hutan ialah : (1) proporsi tingkat kerusakan yaitu potensi, jenis, komposisi serta potensi pertumbuhannya; (2) besar pengaruh kerusakan terhadap permudaan alam untuk mengelompokan pembinaannya lebih lanjut dan (3) pertimbangan pemanfatan atas kerusakan yang terjadi.
Menurut Hamilton et al., (1996) kriteria ambang batas dibuat sederhana dengan maksud memudahkan secara teknis penggunaannya di lapangan. Kriteria dibuat dalam 3 kelas yaitu kelas berat, sedang dan ringan seperti berikut.
Dari kriteria di atas maka diusulkan untuk dapat diterapkan sebagai ambang batas adalah klasifikasi tingkat ringan. Dengan demikian kalaupun terjadi kerusakan karena kesulitan dalam pelaksanaannya di lapangan, peningkatan kerusakan yang terjadi masih berada pada tingkat sedang, yang diperkirakan masih cukup aman bagi keberlanjutan pengelolaan hutan alam rawa gambut secara lestari (Hamilton et al., 1996).
Resiko (manfaat) lingkungan (juga hutan sebagai suatu ekosistem) ialah suatu faktor atau proses dalam lingkungan yang mempunyai kementakan tertentu sehingga menyebabkan konsekuensi yang merugikan (menguntungkan) kepada manusia dan lingkungannya. Brdasarkan batasan ini, baik resiko maupun mnfaat mengandung unsur ketidakpastian bahwa kementakan bisa terjadi tinggi atau rendah, tetapi tidak dapat dikatakan pasti akan terjadi atau pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu kegiatan melakukan pemantauan pengaruh dengan baik dan kemudian menggunakannya sebagai umpan balik untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, dalam hal ini pengelolaan hutan alam sangat penting artinya (Soemarwoto, 1997).
Untuk membuat klasifikasi ambang batas yang diinginkan itu ditempuh dengan cara analisis data hasil pemantauan yang dilaksanakan sendiri dan orang lain sebagai pertimbangan penetapan besarannya. Misalnya, jumlah batang tegakan minimal 60 % (Nodine, 1996; Tansey dan Hutchins, 1988 dalam Sheffield, et al., 1996), sedangkan Smith (1960) menyebutkan bahwa untuk membentuk tegakan yang cukup (full stock) setiap hektar memerlukan permudaan tingkat semai sebanyak 1000 batang, pancang 300 batang dan tiang 75 batang. Sementara Landon dalam Bernard (1950) mengatakan bahwa untuk tujuan yang sama diperlukan tingkat pancang dan tiang sebanyak 300 batang/hektar dan 890 batang/hektar. Ambang batas yang lain seperti gangguan tanah hutan bisa dicerminkan antara lain dalam panjang jalan utama dan jalan sarad. Sedangkan untuk iklim mikro bisa dinyatakan dalam keterbukaan tegakan di mana semakin banyak hutan rusak semakin besar tingat keterbukaan.
Beberapa cara penilaian kerusakan tegakan dapat disebutkan di antaranya :
(1) Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/KPTS/IV-BPHH/1989 tentang TPTI menyebutkan bhwa pohon inti yang merupakan pohon harapan untuk kembali bisa dipanen pada periode 35 tahun berikutnya dikatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut :
a.Tajuk pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon/dahan besar patah.
b.Luka batang mencapai kyu berukuran lebih dari ¼ kliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 meter.
c.Perakarannya terpotong atau 1/3 banir rusak.
(2) Sheffield dan Michael (1996) bahwa untuk menaksir perubahan tegakan yang disebabkan oleh kerusakan dapat dikelompokan menjadi 4 kelas. Tiap kelas menggambarkan bentuk dan ukuran kerusakan, sekalipun sebenarnya sulit untuk bisa memastikan keberadaan lanjutannya untuk dapat hidup terus atau tidak.
(3) Syme et al., (1996) juga membagi kerusakan tegakan dalam 4 kelas. Sama seperti Sheffield dn Michael (1996); sedang Gadrner et al., (1996) membaginya dalam 8 kelas.
(4) Sheffield dan Michael (1996) menyatakan penilaian yang berkaitan dengan perubahan iklim mikro yang ditentukan melalui tingkat kerusakan tajuk yang contoh penerapannya untuk tiang dan pohon.
Menurut Sheffield dan Michael (1996) Penetapan ambang batas belumlah bersifat defenitif; melainkan bersifat pendekatan dengan pertimbangan dasar penilaian cukup logis dan bisa diterapkan di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar