dok Josephine
ilustrasi
Senyawa serotonin diketahui berpengaruh pada aktivitas seksual, seperti ereksi, ejakulasi, dan orgasme. Yi Rao kemudian meneliti pengaruh serotonin terhadap orientasi seksual tikus putih percobaannya.
Untuk meneliti, Rao menggunakan tikus putih jantan yang telah direkayasa gennya. Ia membuat tikus putih percobaannya tidak mampu memproduksi serotonin dengan menonaktifkan gen yang berperan dalam produksi senyawa tersebut.
Hasilnya, tikus putih tanpa serotonin ternyata cenderung menyukai sesama jenisnya. Tikus putih tersebut mendendangkan lagu cinta dalam frekuensi ultrasonik yang biasanya didendangkan ketika ingin mengawini betina.
Rao juga menemukan bahwa 60 persen pejantan tanpa serotonin menghabiskan waktunya untuk mencumbui dan membaui genital sesama jenisnya. Sementara pejantan dengan serotonin cenderung mendekati lawan jenisnya.
Ketika Rao menginjeksikan senyawa serotonin, ia melihat bahwa para tikus tersebut cenderung tertarik pada lawan jenisnya. Sementara ketika serotonin terlalu banyak, tikus tak akan tertarik pada kedua jenis.
Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi serotonin dalam tubuh tikus putih menentukan orientasi seksualnya. Serotonin harus berada dalam konsentrasi tertentu sehingga mendukung perilaku homoseks ataupun heteroseks.
Apakah hal yang sama menjadi sebab homoseksualitas pada manusia? Elaine Hull, pakar rodensia Florida State University yang tak terlibat penelitian, mengatakan, "Hal yang sama mungkin juga memengaruhi homoseksualitas atau biseksualitas pada manusia."
Namun, ia dan co-author penelitian Zhou Feng Chen mengingatkan agar kesimpulan penelitian ini tak ditanggapi berlebihan. Hail penelitian ini tak serta-merta menjelaskan sebab homoseksualitas pada manusia.
"Informasi lebih diperlukan untuk menentukan lokasi otak yang terlibat dalam regulasi serotonin dalam hal itu sebelum melompat pada kesimpulan bahwa serotonin adalah senyawa yang berpengaruh pada ketertarikan antar lelaki," kata Hull.
Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 24 Maret 2011 lalu. Penelitian ini merupakan kali pertama peneliti mampu mendeskripsikan pengaruh neurotransmitter seperti serotonin terhadap orientasi seksual.
Sebelumnya, penelitian tentang sebab homoseksual juga telah dilakukan, misalnya, terkait volume otak kanan dan kiri. Sejauh ini, beberapa ilmuwan meyakini bahwa homoseksual adalah sesuatu yang telah terberi, bukan sebuah penyakit.
http://sains.kompas.com/read/2011/03/28/10444583/Jadi.Gay.karena.Kurang.Serotonin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar