Selasa, 01 Juni 2010

DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

1. Dominasi dan Struktur Pohon Floristik Hutan Rawa Gambut
Richard (1984) dan Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian sesar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi atau konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebyt dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini.
(3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.
Kegunaan mengetahui struktur baik vertikal maupun horizontal oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), struktur tegakan secara horizontal berguna sebagai dasar (a) penaksiran volume kayu per satuan luas, (b) penentuan jarak tanam, dan (c) penilaian biaya pemungutan hasil hutan. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan, struktur vegetasi hutan merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi suatu jenis terhadap cahaya matahari (Smith, 1980).
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika ke dalam lima lapisan sebagai berikut :
(1) Lapisan A, lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi pohon 30 meter ke atas.
(2) Lapisan B, secara umum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 meter sampai 30 meter.
(3) Lapisan C, tajuk tidak terputus, tinggi pohon antara 4 meter sampai 20 meter.
(4) Lapisan D, lapisan perdu dan semak, tinggi antara 1 meter sampai 4 meter.
(5) Lapisan E, lapisan tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang 1 meter.
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi (eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a silvatic-unit).

2. Pola Sebaran Spasial Floristik Hutan Rawa Gambut
Pola sebaran spasial vegetasi merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Menurut Ludwig & Reynold (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial adalah :
(1) Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air).
(2) Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
(3) Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi).
(4) Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas.
Terdapat tiga pola dasar sebaran spasial, yaitu (a) acak atau random, (b) mengelompok atau clump, (c) seragam atau uniform (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di dekatnya. Sedangkan pola sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999). Manokaran (1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di Hutan Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah kanopi.

3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut
Celah kanopi (rumpang atau gap atau chablis) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati/patah/ rebah batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986).
Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa selain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan gundukan atau lubang pada tanah akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut.
Celah di hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap (celah yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima tumbukan batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the epicenter (daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown gap, cahaya matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan pembentukan hutan akan cepat tanpa melalui tahap pionir. Pada daerah epicenter, tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon muda banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh tahun, tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai umur 25 tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis nomads, setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu bersamaan, setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti pionir, komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu flora akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat
hidup  100 tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya  200 tahun.
Terbukanya celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon yang ada dibawahnya.
Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon sangat berkaitan erat dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pon pada tingla semai adalah lebih besar pada celah dibabdingkan kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan comunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan
menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar