Selasa, 01 Juni 2010

SUKSESI VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

SUKSESI VEGETASI HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Spurr (1964) menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang terjadi terus menerus yang ditandai oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim mikro dimana proses ini terjadi. Selanjutnya Emlen (1973) menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa suksesi adalah suatu proses universal yang kompleks, mulai (awal) berkembang dan akhirnya stabil pada tingkat klimaks. Lebih lanjut dikatakan dimana suksesi pada umumnya progresif dan menghasilkan adanya perubahan habitat dan bentuk kehidupan dalam pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa proses suksesi adalah perubahan secara bertahap dan berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Whittaker (1970) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi selama proses suksesi berlangsung adalah sebagai berikut :
(1) Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
(2) Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
(3) Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
(4) Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
(5) Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
(6) Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu :
(1) Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
(2) Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
(3) Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya (Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda.
Richards (1952) menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau bukaan (opening) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat. Karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis-jenis pohon muda yang intoleran, yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran.
Sedangkan Aweto (1981) dan Abdulhadi et al., (1981) menyatakan bahwa “mature forest” pada suksesi sekunder akan terbentuk  80 tahun. Jika hutan hujan mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cendrung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Kellman (1970) menyatakan bahwa proses revegetasi tidak berhubungan dengan keadaan hara tanah pada penelitiannya di daerah tropik di Pegunungan Mindanau Filipina. Tanah yang mengalami suksesi antara 1-27 tahun tidak mempengaruhi hara tanah, oleh sebab itu disimpulkan bahwa perubahan kesuburan tanah tidak begitu penting dalam pergantian suksesi. Keadaan lingkungan sekitarnya seperti radiasi dan temperatur udara merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan vegetasi. Menurutnya kesimpulan ini bertentangan dengan pernyataan yang berulang-ulang, mengenai pentingnya unsur hara yang merupakan faktor yang menentukan jalanya suksesi sekunder pada hutan hujan tropika.
Selanjutnya Tracey (1960) juga menyatakan bahwa faktor fisik tanah tidak mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam menentukan tipe hutan. Goodland dan Pollard (1973) memperlihatkan hubungan yang erat diantara struktur vegetasi dengan unsur N, P dan K pada tanah vegetasi di Cerrado, Brazil. Pada daerah ini terjadi perubahan dari vegetasi herba yang rendah kecil dan jarang, menjadi lebat dimana lapisan tajuk atas 50 % terdiri dari pohon yang tinggi, besar dan pada tanahnya terjadi peningkatan kadar N, P dan K.
Webb (1969) menyatakan bahwa unsur-unsur kimia terutama N, K dan Ca adalah unsur-unsur yang penting untuk menentukan tipe hutan dan kondisi dari kesuburan tanah yang menitik beratkan pada faktor iklim yang menentukan distribusi dari tipe-tipe vegetasi tertentu. Grubb (1977) menyatakan bahwa laju pergerakan dari unsur-unsur hara pada tanah pegunungan tropik dapat menambah keterbatasan unsur hara, ia juga berpendapat bahwa keterbatasan struktur dari hutan hujan pegunungan dapat menyebabkan miskinnya suplai dari N dan P. Suatu contoh yang ekstrim dari respon vegetasi terhadap kondisi tanah adalah rendahnya produktivitas, miskinnya jenis-jenis pohon pada hutan kerangas di daerah tropika (Brunig, 1979; Kartawinata dan Riswan, 1982).
Richards (1952) menyatakan bahwa suksesi pada tanah yang kaya hara tidak jauh berbeda dengan tanah yang miskin hara. Aweto (1981) menyatakan bahwa pada tanah-tanah yang berumur 1,3,7 dan 10 tahun setelah perladangan dan pada hutan primer, peningkatan bahan organik terbatas pada daerah top soil (0-10 cm) dan pada tahun ke sepuluh telah mencapai 78 % dari bahan organik pada hutan primer. Tidak ada perubahan nyata dari nilai pH pada 3 tahun pertama dan setelah itu pH bertambah sampai tahun ke sepuluh. Nilai tukar kation pada lapisan top soil tidak ada peningkatan yang nyata selama tiga tahun pertama, tetapi terdapat peningkatan pada tahun ke tujuh yang diikuti penurunan pada tahun ke sepuluh. Tidak ada peningkatan yang nyata dari nilai tukar kation pada lapisan 10-30 cm.
Ewell (1980) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan, tetapi proses ini sebagian juga terjadi pada musim kemarau. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Di samping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah non tropis.
Suksesi sekunder alami merupakan pembaharuan tegakan hutan secara alami, yakni tumbuhan yang tumbuh sebelum berlangsungnya tindak lanjut pemeliharaan, dan yang akan dapat menjadi tumbuhan hutan. Berdasarkan ukurannya, suksesi sekunder alami dapat digolongkan menjadi suksesi sekunder alami tingkat semai, pancang dan tiang. Tingkat semai adalah suksesi yang tingginya sampai 1,5 meter, tingkat pancang berukuran lebih dari 1,5 meter dengan diameter 10 cm, dan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 – 19 cm (Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993).
Meskipun pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI terdapat tahap kegiatan penanaman/pengayaan, akan tetapi suksesi sekunder alami tetap memegang peranan penting dalam pembentukan kembali hutan bekas tebangan. Hal ini antara lain karena masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur dari jenis-jenis pohon yang akan ditanam yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh setempat. Disamping itu suksesi sekunder alami adalah juga merupakan indikator keanekaragaman vegetasi yang ada, yang dapat dijadikan titik tolak arah pembinaan yang diperlukan (Indrawan, 2000).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus; sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke “ecotypic diversification” maka komposisi Dipetrocarpaceae yang terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis,
persentase kematian akibat “inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan “survive” (Fox, 1976).
Pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat, akan diikuti oleh pembelukaran bersama-sama tumbuhnya jenis pioner yang mengakbatkan adanya perubahan-perubahan keadaan lingkungan (Marsono dan Sastrosumarto, 1980; Kellman, 1970). Keadaan lingkungan yang berubah segera setelah penebangan yaitu, kelembaban, angin, intensitas cahaya adalah akibat “buffer effect” dari belukar tersebut. Akibatnya adalah pada saat “buffer effect” ini mencapai maksimum pertumbuhan, semai kayu berharga mencapai kondisi optimum. Sehubungan dengan ini Marsono (1980) telah mencoba menghubungkan pola pertumbuhan semai jenis Dipterocarpaceae dengan perubahan faktor lingkungan sesudah penebangan. Hasilnya menunjukan pola pertumbuhan faktor-faktor lingkungan yang kompleks. Namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang menentukan. Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti Nitrogen, Phosfor tersedia, Potasium, pH dan bahan-bahan organik tanah kurang menentukan (tidak signifikan), walaupun menunjukan kecendrungan/ trend yang sama.
Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Kartawinata (1975, 1979) dan Nicholson (1960) yang mengatakan bahwa suhu dan kelembaban yang memadai sangat menentukan pertumbuhan semai Dipetrocarpaceae. Sementara itu Tagudar (1967) di Philipina melaporkan juga bahwa sesudah 5 tahun tebangan terdapat jumlah semai Dipterocarpaceae yang cukup yaitu 5000-30.000 per hektar. Demikian juga Blanche (1975) melaporkan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak berlebihan jumlah semai Dipterocarpaceae lebih banyak dibandingkan dengan hutan asli.
Menurut Marsono et al., (1980) bahwa sekitar 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan jumlah semai jenis Dipterocarpaceae mencapai keadaan yang optimal. Oleh karena itu untuk menjaga kelestarian produksi pada rotasi ketiga dan seterusnya waktu itulah ( 4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) saatnya dilakukan inventarisasi cukup atau tidaknya semai. Karena tahun-tahun berikutnya jumlah semai kayu berharga cendrung menurun. Maka sesudah itu (4 sampai dengan 5 tahun sesudah tebangan) perlu bantuan/campur tangan manusia berupa tindakan silvikultur untuk membantu jenis Dipterocarpaceae dari persaingan dan menutupnya kembali tajuk. Tindakan yang dapat dilakukan adalah mengurangi persaingan dalam bentuk “timber stand improvement”. Kalaupun setelah inventarisasi tidak didapatkan semai yang cukup, tanaman pengayaan kiranya dapat dikerjakan.
Selanjutnya Sastrosumarto et al., (1979) menyatakan bahwa jenis-jenis Dipetrocarpaceae yang suka cahaya menghendaki pembukaan tajuk yang tidak terlalu berat. Akibat adanya penebangan yang relatif tidak membuka tajuk terlalu berat, pertumbuhannya terstimulir. Namun beberapa tahun kemudian kompetisi yang makin besar dan menutupnya kembali tajuk menyebabkan posisi jenis Dipterocarpaceae mulai menurun.
Sastrosumarto et al., (1979) dan Marsono et al., (1980) dalam penelitian lanjutannya melaporkan bahwa riap tinggi semai jenis-jenis berharga cendrung menurun dibanding dengan jenis lain-lain dengan menutupnya tajuk dan persaingan yang semakin berat. Sementara itu jenis-jenis lain mulai menunjukan pertumbuhan yang lebih baik.
Marsono dan Sastrosumarto (1980) telah melaporkan hasil penelitiannya di Stagen untuk tingkat pancang dengan ukuran indeks nilai penting yang merupakan kehadiran relatif (relative density), ternyata sebelum tebangan sampai 2 tahun jenis Dipetreocarpaceae lebih mendominasi tingkat pancang. Perkembangan selanjutnya ternyata berubah, dengan adanya perubahan/penutupan tajuk. Tajuk berkembang dan mulai menutup sehingga intensitas cahaya berkurang. Jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya terangsang sehingga dominasi berubah. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa jenis Dipterocarpaceae membutuhkan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga bukan di tempat tertutup. Dengan demikian penebangan dan penyaradan akan mengarahkan kepada pertumbuhan jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya, seperti Shorea leprosula, Shorea polyandra. Selanjutnya Marsono (1980) melaporkan bahwa beberapa jenis Dipterocarpaceae yang suka cahaya tersebut berasosiasi positif dengan tanaman suka cahaya Macaranga sp. Ternyata situasi seperti ini hampir merata untuk beberapa HPH di Kalimantan Timur.
Berdasarkan data hasil penelitian Marsono et al., (1980) bahwa beberapa HPH mempunyai persediaan (stocking) pancang jenis-jenis niagawi yang cukup. Marsono et al., (1980) menduga bahwa hal ini disebabkan karena pengamatan mulai dilakukan pada waktu HPH tersebut masih menggunakan highlead untuk penarikan kayu sehingga banyak pohon dan anak pohon yang rusak. Tajuk terbuka berlebihan sehingga menyulitkan jenis ekspor terutama Dipterocarpaceae untuk tumbuh. Akan tetapi kalau jenis niagawi lokal dapat diterima sebagai jenis berharga, persediaan jenis gabungan ini (ekspor + niagawi) telah melampaui standar yang telah ditetapkan. Kenyataan di atas dijumpai pada sekitar 5 sampai dengan 6 tahun sesudah tebangan. Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan tajuk begitu cepat demikian juga “nomad species” tumbuh lebih pesat, sehingga intensitas cahaya yang masuk lebih sedikit. Akibatnya dominasi sapihan Dipterocarpaceae menurun karena harus bersaing dengan keras dengan jenis “light loving plant” tersebut. Dalam hal ini Marsono et al., (1980) menekankan pentingnya pemeliharaan dalam bentuk “timber stand improvement” pada saat yang tepat. Diharapkan dengan usaha tersebut jenis Dipterocarpaceae dapat mempertahankan eksistensinya dan hutan akan mengarah pada komposisi yang lebih sederhana yaitu didukung terutama oleh Dipterocarpaceae yang termasuk “light demanding species” . Pengalaman di Stagen (Marsono, et al., 1980) menunjukan bahwa dengan pembukaan tajuk yang tidak terlalu kuat, masuknya cahaya yang tidak terlalu tinggi intensitasnya merangsang pancang jenis Dipterocarpaceae dengan indeks nilai penting 19,17 ; 48,99 dan 42,59 berturut-turut pada hutan sebelum ditebang 4 tahun dan 6 tahun sesudah tebangan.
Untuk memperoleh gambaran suksesi alami tingkat tiang yang ada di lapangan, Soemarna dan Supriadi (1977) telah melakukan inventarisasi suksesi alami pada areal bekas tebangan yang telah berumur 3 – 5 tahun, di Kesatuan Usaha PT. Inhutani II Stagen Kalimantan Selatan. Hasilnya menunjukan bahwa jumlah suksesi alami tingkat tiang dari jenis niagawi adalah 373, 9 pohon tiap hektar, sementara jumlah pancangnya adalah 238, 4 pohon tiap hektar. Akan tetapi pada areal bekas tebangan berumur 3 sampai dengan 5 tahun yang terdapat di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sanggau di Kalimantan Barat, Siswanto dan Soemarna (1986) menemukan tingkat tiang dari jenis niagawi hanya sebanyak 78,7 pohon pada tiap hektar. Untuk daerah Semanggis di KPH Palembang, Soemarna (1978) melaporkan bahwa terdapat tiang dari jenis niagawi sebanyak 245,5 pohon tiap hektar.
Keadaan yang sama dengan Stagen dan Semanggis juga dilaporkan oleh Soemarna dan Suyana (1977) di Suban Burung KPH Palembang, Soemarna dan Suyana (1979) di KPH Ketapang Kalimantan Barat, serta Soemarna dan Suyana (1979) untuk kelompok hutan Sungai Tualan KPH Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar