Selasa, 01 Juni 2010

IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010

Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981 dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang dimana nilai-nilai yang ada masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim makro dan iklim mikro.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan mikro.
Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin.
Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun maksimum. Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya. Apabila tajuk menjadi relatif lebih terbuka maka radiasi matahari dan angin akan masuk lebih dalam ke dalam tajuk Nguyen and Sist. 1998; Noor dan Smith, 1987; Sukadaryati et al., 2002).
Pada daerah terbuka permukaan aktif adalah bagian atas dari lapisan serasah/humus, atau apabila tidak ada serasah maka permukaan aktif adalah permukaan tanah. Pada daerah bekas pembalakan, permukaan itu adalah permukaan tanah dan vegetasi yang tersisa. Kerapatan batang dan penutupan tajuk menentukan bagian dari radiasi yang dapat mencapai lantai hutan (Grates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Jumlah cahaya yang mencapai lantai hutan mengendalikan suhu tanah yang akan berpengaruh terhadap reproduksi dan vegetasi bawah. Energi pancaran (radiasi) adalah energi yang berpindah dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dengan dimensi energi, satuan yang digunakan adalah kalori (kal.), erg atau joule (J). Jumlah energi yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan limpahan pancaran (radiant flux) disingkat limpahan, dengan satuan k al./detik

atau J/detik = Watt (W). Sedangkan limpahan pancaran yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan kerapatan limpahan pancaran (radiant flux density) disingkat kerapatan limpahan dengan satuan kal./cm2/detik ( de Rozari, 1987).
Menurut de Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan dengan suhu. Dari segi biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan. Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian.
Sedangkan dari segi fisika, lebih lanjut dikemukakan bahwa profil suhu menentukan laju pemindahan momentum, bahang serta bahan. Di sisi lain, keadaan dimana suhu udara berkurang menurut ketinggian akan mendukung pemindahan golak, sehingga profil suhu cendrung menunjukan penurunan secara adabiatik kering (dry adabiatic lapse rate). Sedangkan keadaan dimana suhu udara bertambah menurut ketinggian condong menekan pemindahan golak dan dengan demikian mempertajam gradien suhu ( de Rozari, 1987).
Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari. Pada malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat dari lapisan batang melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap lebih tinggi dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat. Apabila tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi lebih panas ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk menjadi lebih dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat debu, asap dan CO2 di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara yang dingin dapat turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan.
Jumlah air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap tumbuhan sebagai cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan pengeringan tanah yang sangat cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa berpengaruh buruk terhadap tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu banyak diudara menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan dapat mengakibatkan cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Kelembaban relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian mengakibatkan adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu meningkat selama jam-jam siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang sampai mencapai nilai terendah dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban nisbi meningkat sampai mencapai nilai terttingginya sesaat sebelum matahari terbut, maka pada saat itu suhu mencapai nilai terendah. Umumnya kelembaban di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama siang hari, tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh karena itu kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah lantai hutan, lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984).
Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).
Penelitian menunjukan, bahwa unsur tertentu yang terkandung di udara diperlukan untuk pertumbuhan normal bagi tumbuhan. Unsur penting ini harus berada dalam bentuk yang dapat digunakan tumbuhan dan dalam kosentrasi yang optimum untuk pertumbuhan suatu tanaman (Rieley, et al., 1996)..
Tanaman tingkat tinggi mendapatkan sebagian besar karbon (C) dan oksigen (O) langsung dari udara karena fotosintesis. Sedangkan hidrogen (Hukum) diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari air dalam tanah. Nitrogen diperoleh tumbuhan dari udara tanah secara tidak langsung oleh leguminose. Unsur esensial lainnya diperoleh dari bagian tanah yang padat (Buckman dan Bardy, 1982).
Penjelasan di atas tidak boleh diartikan bahwa jaringan tumbuhan dibangun dari unsur hara tanah, yang benar adalah kebalikannya yaitu bahwa besarnya 94 sampai 99,5 % jaringan tumbuhan yang segar terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dan hanya 0,5 sampai 5 atau 6 % berasal dari tanah (Daubenmire, 1974).
Wenger (1984) menyatakan bahwa aliran panas dan uap dari daun-daun, pengangkutan karbon dioksida ke daun, penyebaran penyakit, pengakutan aerosol dan unsur-unsur kimia penting serta pemencaran api seluruhnya dikendalikan oleh angin setempat di dalam dan di dekat tajuk serta kecepatan angin dan sifat golak galik udara di luar tajuk. Secara umum, semakin tinggi kecepatan angin dan aliran golak galik udara di luar tajuk, maka semakin efesien diffusi dan ekspresi gas, cairan atau material padat yang melayang diudara.
Tajuk-tajuk hutan memiliki tahanan (drag) di bagian atasnya yang menghambat aliran angin sehingga kecepatan angin di dekat tajuk menjadi lambat. Perubahan kecepatan angin menurut ketinggian ini disebut profil angin (wind profile).Di atas tajuk yang kasar dan luas, profil angin dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut (Grace, 1977 dalam Wenger, 1984).
Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.
Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan terutama biologi di dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif jika suhu tertentu tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan faktor yang sangat penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga bertanggung jawab terhadap pelapukan fisik yang terjadi di dalam tanah. Pendinginan dan pemanasan yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada agregat dan bongkah tanah yang akibatnya mengubah keadaan fisik tanah. Suhu tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti evaporasi (Buckman dan Bardy, 1982).
Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire (1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas yang disimpan dan diradiasikan kembali ke atmosfir. Di sisi lain di kemukakan, bahwa pada pegunungan-pegunungan yang tinggi di daerah lintang tengah belahan bumi utara, pengaruh kemiringan pada lapangan yang terbuka dapat menjadi sangat ekstrim, di mana suhu minimum dari tanah pada kemiringan ke selatan lebih tinggi ketimbang suhu maksimum tanah pada kemiringan ke utara. Adanya naungan juga sangat mempengaruhi pemanasan tanah oleh radiasi matahari, dan di bawah naungan yang lebat suhu permukaan tanah lebih dingin dari pada suhu udara di atasnya selama waktu terpanas dari siang hari.
Akan tetapi menurut de Rozari (1987), hubungan di atas belum tentu berlaku umum dan perlu dipelajari untuk setiap macam tanah yang ada.
Menurut Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara antara hutan dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktivitas mikro organisme sehingga perombakan gambut lebih dipercepat dan intensif, sehingga mempercepat terjadinya degradasi gambut, Oleh karena ruang gerak kehidupan tumbuh-tumbuhan dan mahkluk lainnya terdapat di lapisan terbawah atmosfir, di dekat tanah, maka apabila perhatian difokuskan iklim sebagai salah satu unsur ekosistem sumber daya hutan, yang lebih sangat berkaitan untuk dikaji dalam konteks ini adalah iklim mikro.
de Rozari (1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam zona yang dibatasi di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan di bagian bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa dicapai oleh infiltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah dari atmosfir ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca mengalami perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu. Penelitian mengenai perubahan iklim mikro hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan di Indonesia bisa dikatakan hampir belum dilakukan. Dengan demikian sangat sulit kiranya memperoleh gambaran keadaan iklim mikro setelah penebangan atau penyaradan secara kuantitatif.
Menurut Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan terjadinya kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas cahaya, kelembaban, suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah faktor-faktor yang berubah akibat penebangan dan penyaradan. Perubahan iklim mikro ini penting untuk dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis lokal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kendatipun begitu banyak faktor lingkungan yang berubah akibat penebangan dan penyaradan, namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang sangat nyata menentukan pertumbuhan tingkat semai. Tingkat semai adalah yang pertama kali yang menderita dengan adanya perubahan iklim mikro akibat pembukaan hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembukaan hutan intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan akan meningkat, suhu udara dan tanah meningkat dan kelembaban udara berkurang.
Peranan suhu yang penting dalam pertumbuhan pohon atau vegetasi adalah suhu udara dan suhu tanah. Suhu pada tajuk pohon akan mempengaruhi pertumbuhan karena suhu mempengaruhi kecepatan respirasi dan transpirasi. Sedangkan meningkatnya suhu tanah dapat mematikan aktifitas metabolisme (Spurr dan Barnes, 1980). Menurut Smith (1983) pada hutan tropis suhu permukaan tanah hampir tetap yaitu 27C karena sinar matahari tertahan oleh vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara.
Sanchez dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan banyak ditebang, maka suhu permukaan tanah dapat meningkat 7 - 11C. Karena radiasi yang diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu yang meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi petunjuk bahwa kelembabannya menurun. Kemungkinannya adalah vegetasi sebagai salah satu sumber kandungan air sebagian telah hilang karena penebangan dan penyaradan. Akan tetapi dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar