Sekali lagi berita buruk untuk Indonesia akibat pemanasan global. Para ilmuan mengamati bahwa pita hujan bumi telah bergeser ke utara dari seharusnya. Pita hujan adalah garis khayal yang menerima jauh lebih banyak hujan daripada daerah lain di bumi. Secara normal, seharusnya ia berhimpit dengan khatulistiwa. Tapi ternyata sekarang sudah tidak normal.
Pita hujan atau lebih dikenal sebagai zona konvergensi antartropis terbentuk akibat pertukaran angin yang menciptakan tekanan rendah di atas perairan khatulistiwa yang dipanaskan matahari. Di Indonesia, kita menyebutnya angin muson barat dan timur, bertemu dan menciptakan pita hujan untuk wilayah Indonesia. tekanan rendah ini juga menciptakan sel-sel tekanan tinggi besar yang mengedarkan panas atmosfer menuju lintang yang lebih tinggi, ke China, Eropa, Amerika, dan mengendalikan sistem cuaca di sana.
Seperti dapat dilihat dalam gambar di bawah, suhu belahan utara Bumi yang meningkata menggerakkan pita hujan ke utara saat periode hangat abad pertengahan (kiri); suhu yang lebih dingin menggesernya ke selatan saat zaman es kecil. Sekarang pita ini sudah mencapai rekor utara sejak 1200 tahun terakhir. Prediksi ilmuan pada peningkatan gas rumah kaca global dapat mendorongnya lima derajat lagi ke utara pada tahun 2100.
Bila pita hujan pergi ke utara lima derajat lagi, ratusan juta orang yang hidup di dekat khatulistiwa akan tertinggal dalam kekeringan. Pertanian, perkebunan kopi dan pisang, keanekaragaman tropis di tempat-tempat seperti Ekuador, Kolombia, Indonesia utara dan Thailand akan mengalami penurunan. Kekeringan serius yang terjadi di Amerika Serikat bagian barat daya akan terjadi pula di wilayah yang ditinggalkan pita hujan. Sementara itu, lokasi-lokasi di dalam pita sendiri untuk pertama kali dalam sejarah akan menerima hujan yang lebih banyak dari biasanya, seperti Guam dan El Salvador.
Bukti perubahan potensial ini datang dari berbagai pulau. Pulau Washington di 5 derajat lintang utara sekarang mendapatkan hujan tiga meter per tahun, padahal 400 tahun lalu kurang dari satu meter saja dan penguapan waktu itu sangat kuat. Sebaliknya, dataran tinggi di Pulau San Cristobal pada 1 derajat Lintang Selatan di kepulauan Galapagos yang sekarang mirip gurun, pernah lebih basah di zaman es kecil.
Bukti lain datang dari arkeologi. Field dan Lape (2010) menyelidiki 184 perbentengan kuno di daerah Pasifik, dua diantaranya dari Banda yang didirikan sekitar tahun 550 Masehi. Para arkeolog menyimpulkan kalau di kepulauan Nusantara dan Pasifik Selatan terdapat peningkatan jumlah bangunan benteng yang bertepatan dengan masa ingsutan pita hujan ke selatan terakhir. Setumpuk struktur yang dibangun masyarakat sekitar untuk mencegah banjir dibangun pada saat akhir zaman es kecil. Saat pita hujan bergerak ke selatan, pulau-pulau di utara tertinggal dan mengering, dan mungkin memaksa para penghuninya pergi ke pulau-pulau di selatan dan membuat takut penduduk lokal sehingga mereka membangun benteng.
Teknologi desalinasi dan perkapalan tidak lagi tergantung lagi dengan air hujan, namun gerakan pita hujan lima derajat ke utara akan membahayakan kita yang tinggal di negara berkembang, karena sebagian besar negara yang berada di kawasan tropis adalah negara seperti itu. Sementara itu, negara-negara ini akan mengalami peningkatan populasi besar pada abad ini dan sepertinya tidak bakal memiliki sumber daya yang cukup untuk beradaptasi dengan baik. Penurunan curah hujan, di satu sisi, dan banjir, di sisi lain, sepanjang dekade atau bahkan beberapa tahun saja sudah cukup mengurangi hasil pertanian, membawa pada rawan pangan, kegelisahan politik dan akhirnya pergeseran geografis.
Yah, bersiaplah Indonesia untuk masa depan. Jika tidak ada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tanaman pangan serta kemauan pemerintah untuk mencapainya, negara ini bisa jadi ditinggalkan lebih banyak orang lagi.
http://www.faktailmiah.com/2011/03/09/pita-hujan-yang-bergeser-mengancam-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar